Wacana Penghapusan Jurusan Filsafat Menuai Kritik: Musfi Romdoni Angkat Bicara
Jakarta, Commentari – Gagasan kontroversial yang dilontarkan Ferry Irwandi, seorang influencer yang dikenal dengan nalar kritis dan tajamnya, mengenai pentingnya menghapus jurusan filsafat memicu diskusi hangat di kalangan akademisi dan pegiat pemikiran.
Ferry menilai filsafat seharusnya tidak diposisikan sebagai disiplin studi eksklusif, melainkan menjadi ilmu dasar yang diajarkan sejak dini dan melekat dalam berbagai jurusan lainnya.
Menanggapi pernyataan tersebut, Musfi Romdoni, alumni Filsafat Universitas Indonesia (UI) sekaligus pendiri Sekolah Logika, menyampaikan respons kritis yang mendalam. Ia menyatakan sepakat dengan semangat inklusifitas filsafat, namun menolak wacana penghapusan jurusan filsafat secara keseluruhan.
Filsafat Bukan Ilmu Elitis, Tapi Juga Bukan untuk Dihilangkan
Menurut Musfi, ada benang merah yang perlu diapresiasi dari argumentasi Ferry Irwandi, khususnya terkait urgensi menjadikan filsafat sebagai mata kuliah wajib lintas jurusan dan bukan ilmu yang eksklusif.
Ia bahkan menyoroti sejarah pendidikan filsafat di UI yang dahulu hanya bisa diambil setelah menyelesaikan 130 SKS, sehingga hanya dapat diakses oleh mereka yang telah memiliki ground keilmuan tertentu.
“Filsafat memang idealnya dipelajari setelah memiliki fondasi keilmuan yang kuat. Itulah mengapa gelar doktor disebut Ph.D – Doctor of Philosophy, tak peduli apa pun bidangnya,” ungkap Musfi.
Wacana Penghapusan Jurusan Filsafat Dinilai Sebagai Dikotomi Palsu
Namun, Musfi juga mengkritik argumen Ferry sebagai bentuk false dichotomy atau dikotomi palsu, yang menggiring pada dua pilihan ekstrem:
mempertahankan jurusan filsafat atau menghapusnya. Padahal menurutnya, pendekatan inklusif terhadap filsafat bisa berjalan bersamaan dengan keberadaan jurusan filsafat itu sendiri.
“Poin inklusivitas filsafat perlu diberi karpet merah, tapi bukan berarti jurusannya harus dihapus. Ini adalah kesalahan logika dikotomi palsu,” tegasnya.
Konsekuensi Ekstrem: Jurusan Humaniora Terancam Hilang
Musfi juga menyampaikan kekhawatiran atas dampak lebih luas jika logika penghapusan jurusan filsafat diterapkan secara konsisten.
Jika alasan yang digunakan adalah karena kematangan sains modern, maka hal serupa dapat berdampak pada jurusan-jurusan non-eksak lainnya seperti sastra, seni, hingga ilmu-ilmu sosial.
“Kalau argumen itu diterapkan, kita justru berisiko menghapus seluruh studi humaniora karena dianggap tidak lagi relevan oleh sains eksak,” jelasnya.
Regenerasi Dosen dan Pengajar Filsafat Bisa Terhenti
Keberatan terbesar Musfi adalah potensi mandeknya regenerasi pengajar dan akademisi filsafat jika jurusan filsafat dihapuskan.
Hal ini, menurutnya, justru bertentangan dengan harapan Ferry agar filsafat diajarkan lebih luas.
“Kalau jurusan filsafat dihapus, dari mana datangnya dosen dan guru filsafat? Siapa yang akan mengajarkan filsafat di semua jurusan dan sejak dini seperti yang diinginkan Ferry?” tanyanya retoris.
Musfi menyebut, dalam hal ini, argumen Ferry juga terjebak pada kesalahan logika lain, yakni contradictio in terminis – sebuah kontradiksi internal yang menggugurkan kesimpulan argumen itu sendiri.
Kesimpulan: Filsafat Harus Inklusif, Tapi Tetap Butuh Ruang Akademik Formal
Musfi Romdoni mengakhiri tanggapannya dengan menegaskan bahwa filsafat tetap memerlukan ruang formal akademik agar dapat berkembang secara metodologis dan regeneratif.
Wacana inklusif harus dibarengi dengan perlindungan institusional agar filsafat tidak kehilangan akar dan keilmuannya. (Rai)
- akademisi filsafat
- contradictio in terminis
- debat filsafat
- diskursus akademik
- false dichotomy
- Ferry Irwandi
- filsafat
- filsafat Indonesia
- ilmu humaniora
- ilmu sosial
- jurusan filsafat
- Musfi Romdoni
- pemikiran kritis
- pendidikan filsafat
- pendidikan inklusif
- pendidikan tinggi
- penghapusan jurusan filsafat
- regenerasi dosen
- ruang akademik
- sastra
- Sekolah Logika
- seni
- studi humaniora
- Universitas Indonesia